Q & A / Our opinion

Jelang MEA & AFTA, Aksi Mogok Nasional Selama 3 Hari Bikin Rugi Rp 120 Triliun

Dalam salah satu pertanyaan di milist SDM/HR, yang merespon posting berita yang berjudul “Aksi Mogok Nasional Selama 3 Hari Bikin Rugi Rp 120 Triliun”; ada pertanyaan dari rekan lain, yaitu:

Di negara maju banyak yang sering mogok. Di Perancis, Jerman dll. kadang-kadang malah buruh yang bekerja di sektor jasa yang sangat penting seperti transportasi masal.

Apakah buruh Indonesia tidak berhak?

Demo adalah salah satu bentuk hak untuk menyatakan pendapat, jadi jika ditanyakan apakah buruh Indonesia tidak berhak, maka jawabannya adalah tentu saja berhak untuk demo.

Dalam hal ini, kami justru merasa tertarik dengan perbandingan yang disampaikan dalam kalimat pertamanya, terutama bagian:

“Di negara maju banyak yang sering mogok. Di Perancis, Jerman dll.”

Pada bagian tsb, kita harus menyadari di negara-negara maju, terdapat perbedaan dalam hal tingkat kesejahteraan terhadap rakyat yang ditanggung oleh pemerintah mrk, yaitu terutama adanya tunjangan terhadap kesehatan/asuransi kesehatan dan tunjangan dana bagi warganya yang tidak mendapat pekerjaan, hal tsb mempunyai implikasi jika terjadi suatu PHK, maka pihak pengusaha hanya membayarkan gaji terakhir yang belum diterima oleh karyawan terkait, dengan pengecualian jika kondisinya ada perjanjian tertentu (seperti hubungan kontrak atau program kepemilikan saham, dll).

Sedangkan dalam dunia usaha di negara kita, asuransi kesehatan tsb masih menjadi beban bagi industri dan bagi kasus phk yang terjadi di negara kita, perusahaan masih harus menanggung sebagian social responsibility, yaitu membayarkan pesangon bagi karyawan yang terkena PHK, dimana hal tsb tidak terjadi pada perusahaan2 di negara maju tsb.

Di sisi lain, kami sebagai konsultan SDM yang sering menangani client-client perusahaan serta background kami yang berpengalaman sebagai praktisi HRD yang pernah bekerja pada beberapa perusahaan dari berbagai bidang industri, seringkali merasa takjub dengan begitu masifnya demo buruh-buruh tersebut, sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan dari kami, sebagai berikut:

1) selama buruh-buruh tersebut melakukan demo yang menuntut berbagai hal sehingga dapat menyebabkan kenaikan biaya produksi?  Yang berarti komponen biaya yang seharusnya dapat dipergunakan oleh perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh, justru menjadi tergerus dan teralokasi untuk menutupi biaya produksi?

2) bukankah kenaikan UMK berbagai sector industri, jika diakumulasikan secara nasional, pada akhirnya biaya-biaya tsb akan mengakibatkan kenaikan tingkat inflasi? Yang akan membuat terjadinya “balapan antara kenaikan UMK vs angkat tingkat inflasi secara real” dengan garis finish MEA & AFTA?

Kita boleh mengibaratkan MEA & AFTA merupakan “garis finish” karena pada saat-saat itu, baik pengusaha maupun para pekerja kita akan menghadapi tantangan secara global baik dari segi kualitas, biaya & produktivitas (efisiensi)

3) di sisi lain, jika produktivitas rendah sehingga mengakibatkan perusahaan di negara kita cenderung menurun keuntungannya dan saat ini cukup banyak yang justru sudah mulai merugi, bagaimana caranya mrk dapat mengikuti tuntutan-tuntutan buruh tersebut? Sedangkan untuk memenuhi kewajiban minimal UMK saja banyak perusahaan yang mulai tidak sanggup karena hal tsb berarti mengurangi daya saing produk mrk, terutama dalam hal harga jual.

Sehingga, jika hal tsb terjadi berlarut-larut, akan banyak perusahaan yang terpaksa tutup karena bangkrut, yang mempunyai implikasi lanjutan:

  • Banyak buruh/SDM yang menganggur, dan terpaksa menerima upah yang rendah (dalam workforcepun terdapat hukum supply vs demand)
  • Hanya produsen-produsen raksasa/multinasional yang mampu bertahan untuk tetap menjual produk mrk & pada saat itu karena competitor sudah banyak berkurang (karena bangkrut), maka produsen-produsen tsb dapat menjual produk mrk dengan harga jual yang lebih bagus/tinggi/mahal (karena demandnya tinggi, sedangkan supply menjadi terbatas karena sudah banyak perusahaan domestic yang bangkrut, sehingga jikapun mrk masih beroperasional, mungkin saja kepemilikannya sudah dibeli oleh perusahaan raksasa tsb)

4) Dengan berfokus pada result oriented dari tujuan demo tsb, yaitu: meningkatkan daya beli bagi rekan-rekan kita semua, dalam hal ini adalah semua pekerja (baik buruh, staff, dll yang tetap semuanya adalah karyawan), bukankah lebih efektif jika demo-demo buruh tersebut justru diarahkan ke pemerintah, dalam hal ini seluruh jajaran executive, legislative & judicative agar mrk lebih professional, efficient & effective dalam menjalankan roda-roda pemerintahan kita?

Seperti misalnya untuk meningkatkan kemampuan daya beli, hal ini berarti ada beberapa komponen biaya hidup/COLA yang perlu di-review:

  • harga minyak dunia yang turun, kenapa sampai saat ini harga BBM di negara kita tetap terkesan constant/tidak ada penurunan?
  • Sebagai imbasnya penurunan harga dunia untuk BBM, batubara & gas, mengapa justru ada rencana kenaikan tariff listrik bagi kalangan tertentu (kalangan pelanggan 450 kva & 900 kva, kalau kami tidak salah menyebut satuannya ya)? Bukankah seharusnya terjadi perluasaan biaya keekonomian tariff listrik (yang awalnya tariff keekonomian tsb hanya bagi kalangan 450 kva & 900 kva, juga harusnya dapat diperluas juga bagi kalangan pemakai 1300 kva?)

Selain itu, perlu adanya peran serta dalam penyelenggaraan GCG seperti dalam kasus:

  • Divestasi saham Freeport, yang sudah jelas menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku & progress sampai saat ini, menteri BUMN telah menyatakan akan mengambil divestasi saham Freeport tsb, namun hal tsb terlihat masih minim progressnya oleh para pihak lain & malah di beberapa media masih terdapat banyak usaha untuk membelokkan pengambilan saham tsb oleh BUMN, menjadi mengikuti kehendak Freeport, yaitu melalui IPO secara langsung, yang sangat berpotensi merugikan kita karena melalui IPO secara langsung, peluang pengusaaan kembali saham-saham tsb menjadi lebih mudah; sedangkan divestasi melalui BUMN yang ditunjuk oleh menteri ybs, berarti peluang penguasaan 100& saham Freeport di tambang domestik kita menjadi lebih besar
  • Revisi UU KPK (http://m.kontan.co.id/news/diambil-alih-revisi-uu-kpk-jadi-inisiatif-dpr) yang kita harus harapkan agar dapat memperkuat KPK seperti misalnya realisasi salah satu janji kampanye presidenhttp://news.detik.com/berita/2602305/janji-jokowi-jika-terpilih-tambah-penyidik-dan-anggaran-kpk

dll

dengan tingkat implementasi GCG yang lebih tinggi, maka jalan birokrasi pemerintahan akan lebih efisien & efektif, sehingga dapat mempengaruhi selain waktu, juga biaya-biaya operasional perusahaan; juga dapat meningkatkan keuntungan perusahaan-perusahaan di negara kita; sehingga pengusaha dapat mengalokasi dana yang didapat tsb, untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan, dalam hal ini termasuk juga buruh-buruh.

Dan tentunya masih banyak hal-hal lain yang patut dikritisi dalam usaha buruh untuk mencapai target dengan hasil yang diinginkan yaitu: meningkatkan daya beli, yang sebenarnya tidak dapat hanya dilakukan secara instant, yaitu demo tuntutan menaikkan UMK, karena dengan hanya menaikkan UMK saja, tanpa tercapainya kemajuan dibidang-bidang lainnya, hanya membuat menjadi seperti “lingkaran setan/boomerang”, yang pada akhirnya akan berefek buruk secara nasional dan terutama bagi para buruh juga; karena di era saat ini, sebenarnya uang tidak mengenal batas negara, sehingga dapat saja terjadi implikasi perusahaan-perusahaan memindahkan basis produksinya mrk ke negara-negara yang lebih baik baik menjalankan GCG & tingkat produktivitas buruh yang jauh lebih tinggi (seperti: minim demo & disiplin kerja yang lebih tinggi).

Best regards’